HIJRAH BERSAMA AYAH
Kisah Anak Kaki Gunung Keumenyan
Kondisi ekonomi keluarga kami makin sempit, ayah nyaris tidak dapat pekerjaan, walau hanya sebagai buruh tani. Sejak itu ayah memutuskan mencari pekerjaan kepedalaman desa nan jauh dari tempat kami berdomisi, disana ayah mendapat kabar banyak pekerjaan sebagai buruh tani. sebuah desa baru, yang lahannya terhampar luas, yakni Desa Kubang Gajah, sebuah desa yang baru dibuka oleh pemerintah Aceh sebagai lokasi persiapan untuk tranmigrasi masyarakat pulau jawa.
Sebagai sebuah lokasi persiapan, tentu banyak lahan baru, nah lahan tersebut banyak dipergunakan oleh para petani untuk bercocok tanam, tentu banyak pekerjaan untuk membersih lahan dan menggarab tanah dengan mencangkulnya, ayah datang sebagai seorang yang bekerja pada para petani setempat, bermodal parang dan cangkul, ayah mulai berkerja sampai berhari-hari lamanya.
Terkadang sepekan, atau dua pekan sekali, ayah pulang mengunjungi kami yang tinggal di desa, sembari membawa pulang bekal belanjaan yang ayah dapatkan dari hasil bekerja dikebun orang, esoknya ayah kembali lagi untuk bekerja, kami ditinggalkan kembali bersama mak, hampir setahun penuh perjalanan keluarga kami hidup terpisah dengan ayah, karna ayah terus berjuang mencari nafkah untuk keluarga kami.
Sekian lama perjalan hidup terpisah, suatu hari ayah datang menjempu mak, abang, kakak dan adik-adik, kami ikut ketempat ayah bekerja, ternyata disana ayah sudah mendapatkan sebuah rumah trans yang belum ditempati, oleh pihak pengembang mengizinkan ayah tinggal dirumah tersebut, untuk itu ayah membawa semua keluarga kami kesana untuk bercocok tanam dan bertani.
Haru, sedih dan ratapanpun pecah dari andai taulan, sanak saudara serta para tetangga melepaskan kepergian kami, saya melihat mak menangis memeluk nenek yang kami tinggalkan, orang-orang pun ikut menangis, sebahagian memberikan beras, yang lainnya memberikan kami asam sunti, dan alat dapur lainnya sebagai bekal awal kami ditempat baru.
Kami sekeluarga duduk dibak mobil crevolet terbuka, diantara barang-barang muatan mobil, alat peragat perlengkapan rumah yang diangkut serta dari rumah ketempat baru, lambaian tangan kami pada saudara yang kami tinggalkan dengan penuh air mata, mereka membalas dengan lambaian kasih sayang, seakan keberatan atas hijrah yang kami lakukan, tapi kami terpaksa hijrah karna kedaan yang memeksakan, dengan harapan ditempat baru kehidupan keluarga kami makin mapan.
Mobil kian melaju, meninggalkan desa kami nan ramai, air matapun mulai kering dipipi, kami dan adik-adik mulai tersenyum, merasa senang dapat naik mobil bersama, walau mobil bak terbuka, terlebih perasaaan bangga karna akan hidup bersama ayah, yang selama ini terpisah dan diantui oleh perasaan rindu.
Perjalanan panjangpun penuh tanda Tanya, saat mobil mulai masuk keplosok pedalaman desa, jalan berbatu dan berdebu menjadi akses menuju tempat baru, sepanjang jalan kiri dan kanan penuh semak belukar, sesekali terlewati rumah penduduk, tapi sangat jarang-jarang ada rumah, kebanyakan hanya lahan semak yang ditinggalkan.
Perjalan makin jauh, tiba-tiba terlihat sebuah pedesaan, sebuah simpang tiga yang sedikit ada keramaian, terlihat ada kehidupan manusia, disana ada sebuah warung jajanan, disampingnya ada orang menjual ikan, sayuran, dsb, kami baru menyadarinya, ternyata itu sebuah pasar simpang tiga, yang merupakan pusat pembelajaan penduduk setempat, yang kemudian menjadi tempat kami berbelanja kelak saat menetap disini, iya sebuah pasar harian, tapi orang-orangnya tidak seramai orang berjamaah magrib di desa kami, pasar,!!! tapi sepi, sesepi perasaan yang mulai mencemasi keadan kedepan.
Tampa banyak Tanya, kami hanya menikmati perjalanan misteri ini, ternyata mobil masih saja melaju, melewati pasar simpang tiga, mudik kearah pergunungan, disana mulai terlihat sawah yang terhampar, kebun ubi dan ketila menghiasi perkarangan rumah penduduk, tiada rumah yang berdempetan, tapi antara satu rumah kerumah yang lain terpisah-pisah, dari satu petak kebun kekebun lainnya.
Dari jauh, mulai terlihat puncak gunung yang menjulang, mobil menuju arah gunung tersebut, dalam hati terus bertanya, apakah kami masih akan menaiki gunung itu, namun tiba-tiba mobil membelok kekiri, memasuki sebuah simpang yang tiada berbadan berjalan, hanya jejak licin diatas rumput yang sudah sering diinjjak dan dilalui orang, mobil kami terus berjalan mengikuti jejak tersebut, kami semua tersontak, saat mendengar suara ayah mengatakan, kita sudah hampir sampai, coba lihat didepan ada banyak perumahan, disanalah rumah baru kita.
Seraya mengucapkan sykur Alhamdulillah, kami semua berdiri memerhatikan lokasi rumah yang semakin dekat, digerbang masuk tertulis “Perumahan Transmigrasi Kelompok 20” ternyata disana hanya ada 20 unit rumah saja, perumahan yang palin ujung, dikaki gunung Keumenyan, sebuah gunung yang menjulang tinggi, dengan pohonan besar yang masih asri, disana banyak kemenyan, yang oleh penambangnya mengabil kemenyan di gunung tersebut.
Setiba dirumah baru, kami semua turun dan membatu mengangkat barang dari mobil memasukannya kerumah, terlihat hanya ada satu kamar saja, rumah yang dibangun dengan serba kayu, dindingnya dari papan yang tersusun berlapis, tampa lantai beton, tapi hanya tanah yang tidak dicor dengan semen, tapi tanahnya sudah mengeras padat bagai semen.
Haripun makin sore, upuk merah mulai terlihat dilangit sebelah timur, menandakan mangib segera tiba, saya melihat mak menyiapakan “panyoet” (pelita yang terbuat dengan kaleng, lidahnya dari kapas, dan bahan bakarnya dari minyak tanah). Kami hidup tampa listrik sebagai penerang, hanya cahaya Panyoet yang menyinari, sumurpun berada diluar rumah, karna itu ayah menyediakan air dalam ember, yang beliau timbakan dengan tangan, dan diangkut masuk kerumah untuk persiapan malamnya.
Tak banyak aktifitas malamnya, setelah shalat magrib, terdengar suara mak mengaji, kami hanya duduk, berbaring dan bercerita tetang jauhnya perjalanan tadi, setelah mak mengaji, kami makan malam bersama, dengan menu serba terbatas, ikan asin dan sambal kelapa pedas, tapi kami tiada mengeluh, demi sebuah cinta dan kebersamaaan. tak lama beselang ayah menyuruh kami semu shalat Isya, kemudian kami lansung tidur perdana dirumah baru, dengan lelap karna sangat letih diperjalanan.
Esoknya mentari terbit, daerah sejuk dan asri, burung-burung berkicau dengan indah, kami terbangaun dengan sebuah senyum, melihat alam berkabut asri, gembira dihati mulai terpancar, disinilah rumah kita, disinilah tempat kita, awal hijrah bersama ayah dan keluarga, mewujudkan mimpi dan cita serta cinta keluarga, semoga kelak Allah limpahkan kebahagian, walau ditengah hutan belantara, di kaki gunung, kami awali hijrah yang sangat mulia.
Hari pertama berada disana, Kami dan adik-adik masih kebingungan, tidak ada rutinitas pagi seperti biasa, dikampung halaman setiap pagi kami bergegas kesekolah, tapi ditempat baru kami belum bersekolah. Sementara ayah dan abang mulai bergerak ke kebun, mak sibuk merapikan rumah seraya menyiapkan sarapan pagi. Kami hanya berjalan-jalan disekeliling rumah yang banyak perpohonan kuini (mangga).
Ini betul-betul merupakan awal yang baru, serba berbeda dengan kedaan sebelumnya, rumah ditengah kebun yang terhampar, tidak ada kios kelontongan yang dekat walau hanya untuk jajan, kami hanya mendengar suara burung yang berkicau, diselangi dengan suara anjing yang bergonggong, kerumah tetangga jauh, dan belum berani karna masih baru.
Tiba-tiba mak keluar dengan seuntai tali dan sebilah papan kayu, menyapa serta berbaur bersama kami, “Supaya tidak bosan, mari kita buat ayunan, untuk bermain” sapa Mak mengawali percakapan, kami pun menyambut gembira, “ayooo mak”. Mak mulai melempar tali kedahan pokok Kuini, tali dipasang oleh mak dengan kuat, setelah dipastikan tidak lepas lagi, mak memasang papan kayu tempat duduk di ayunan, kami mulai bermain dengan gembira, saling bergantian naik ayunan, terkadang saya duduk, adik yang mengayunkan dengan kuat, kami tertawa lepas dan hembira, hari itu jadi indah, walau kami tidak bersekolah.
Hijrah bersama ayah jauh lebih indah di banding apapun, karna disana ada cinta, ada kebersamaan, kami terus bersama-sama, bersama ayah, mak, abang, adik kakak, tanpa lagi jauh memisahkan.
No comments:
Post a Comment