Monday, August 9, 2021

MEUNASAH DI ACEH (Fungsi dan Kegunaan pada Masyarakat Aceh Masa Kesultanan).

 

MEUNASAH DI ACEH

(Fungsi dan Kegunaan pada Masyarakat Aceh Masa Kesultanan).

Oleh:

Tgk. Ilham Mirsal, S.PD.I, MA

 

A.     Pendahuluan Kalam


Eksistensi Meunasah di Aceh mulai hilang dengan seiring kemajuan dan modernisasi, meunasah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh, padahal meunasah merupakan prodak asli peninggalan khazanah Keacehan. Asumsi ini tidak berlebihan, amatan penulis hanya sebahagian Kabupaten Kota yang masih menjaga ruh (jiwa) meunasah, katakanlah sebahagian Aceh Besar dan Pidie, sisanya meunasah hilang ditelan kemajuan zaman. Pantai Barat Selatan Aceh misalnya, regenerasi muda sekarang hampir saja tidak mengenal apa itu meunasah, apa lagi fungsi dan sejarah meunasah itu sendiri.

Untuk itu kita sangat berharap para akademisi dan peneliti era sekarang untuk mengangkat kembali keunikan meunasah sebagai warisan indatu tempo dulu, dan para pengambil kebijakan untuk menjaga keaslian meunasah sebagai sebuah warisan leluhur yang kemudian kita warisi pada regenerasi Aceh berikutnya.

Pada era Gubernur Irwandi Yusuf priode pertama ada sebuah gerakan pengembalian simbol adat Keacehan, misalnya kala itu Irwandi mengangkat peran dan fungsi Imum Mukim, budaya adat dan resam lainnya, misalnya geulayang tunang, lomba gaseng dan lain sebagainya, tapi tidak juga menyentuh peran meunasah dan Imum Meunasah, untuk itu kita berharap ada yang melanjutkan implementasi Budaya, pendidikan, resam terutama indititas Meunasah sebagai milik asli warisan Aceh.

 

B.     Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan Aceh Tempo Dulu

a.      Pengertian dan Maksud Meunasah di Aceh

Meunasah secara bahasa di artikan tempat belajar sinonim dengan madrasah (sekolah). Namun dalam sejarah Aceh meunasah bukan saja digunakan sebagai tempat belajar, tapi meunasah di Aceh multifungsi, multiguna. Selain tempat belajar agama, meunasah juga digunakan sebagai tempat ibadah (shalat), tempat rapat Gampong (musyawarah dan balai pertemuan), juga sebagai sentral informasi, tempat tidur bagi aneuk agam (pemuda lajang), juga rumah singgah bagi musafir, balai nikah, tempat memutuskan perkara adat, tempat olah raga, dan lain sebagainya.[1]

Dalam dialek Aceh, penyebutan kata Meunasah berbeda-beda menurut wilayah masing-masing, ada yang menyebutnya meulasah, beunasah atau manasah, dan balai (penyebutan bagi aneuk jame), ada juga yang menyebutnya dengan kata meurasah (oleh masyarakat Gayo, Alas dan aneuk Kluet). Namun secara umum, penyebutannya adalah Meunasah yang sudah ditemukan sejak lama, namun ahli tidak menemukan kapan persis meunasah ditemukan secara historis.

Para ahli berbeda pendapat pada asal meunasah ini, Snouck Hurgronje berpendapat bahwa meunasah identik dengan Langgar, balee atau Tanjung, maka menurutnya meunasah lebih tua dari madrasah dalam bahasa Arab (artinya bukan dari kata madrasah). Sementara Badruzzaman dan para pakar ahli lainnya di Aceh sepakat bahwa meunasah berasal dari bahasa Arab Madrasah (artinya lembaga ini mulai dikenal sejak Islam masuk ke Aceh).

Madrasah dalam bahasa Arab memiliki arti sebuah lembaga Pendidikan, sedangkan Meunasah tidak dikususkan sebagai sebuah lembaga pendidikan, karena masyarakat Aceh mengunakan Meunasah untuk berbagai aktifitas, termasuk kegiatan sosial, pusat ekonomi, dan juga proses didik mendidik ilmu agama. jika menggunakan sudut pandang meunasah sebagai sebuah lembaga pendidikan, maka meunasah merupakan lembaga pendidikan dasar bagi masyarakat aceh kala itu.

 

b.      Fungsi dan Kegunaan Meunasah di Tengah Masyarakat Aceh


 

Meunasah pada masa Kerajaan Aceh berperan sebagai ujung tombak yang merealisasikan setiap kebijakan Kerajaan, baik menyangkut kebijakan Negara, agama serta adat istiadat. Meunasah sebagai ujung tombak berperan sebagai juru yang menyampaikan kebijakan dan pemberitahuan di tengah masyarakat, karena itu Meunasah juga sebagai pusat informasi dan komunikasi rakyat. (Sadli, Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh).

Berikut fungsi Meunasah dimasa lampau:

1.      Sebagai pusat ibadah (shalat fardhu, shalat tarawih, shalat hari raya, tempat zikir, dan lain sebagainya).

2.      Sebagai lembaga pendidikan (sekolah dasar) bagi masyarakat, yang belajar ilmu dasar seperti mengaji jus amma, belajar sifat dua puluh, serta tulis baca tulisan jawi (jawo) Arab Melayu.

3.      Sebagai pusat hiburan dan kesenian masyarakat, seperti dalai khairat, meusipeut, meurukon, rateb duek, zikir maulid, serta berbagai adat tradisi aceh yang berlaku lainnya.

4.      Sebagai pusat nongkrong melatih otak, misalnya tempat mai catur klasik Aceh, sambil diskusi dan menggali informasi lainnya.

5.      Tempat buka puasa bersama, tempat perayaan maulid, perayaan israk miraj dan kegiatan hari besar Islam lainnya.[2]

6.      Sebagai balai nikah, serta tempat penyelesaian perkara adat bagi masyarakat yang berselisih paham.

 

c.       Diskripsi Kurikulum dan Sistem Belajar pada Lembaga Meunasah Aceh

1.      Kurikulum meunasah

Kurikulum merupakan seperangkat tujuan dalam menyukseskan pendidikan, tentu kurikulum meunasah tidak sama dengan kurikulum modern yang memiliki tujuan, Isi, organisasi serta strategi. Namun secara diksi sudah bisa dikatagorikan kedalam sebuah kurikulum, kurikulum ajar pada lembaga meunasah setidaknya memuat belajar baca Al-Quran dasar, membaca dan menulis Arab melayu, menulis dan membaca syair Aceh. Dan bagi yang sudah sedikit besar maka akan diajarkan ilmu Nahwu, cerita dan kisah tarikh Rasul serta sejarah Aceh, pelatihan ketrampilan seni bela diri (silek), meen galah dan permainan rakyat lainnya. Sementara bahan ajar yang dijadikan rujukan oleh gure (guru) meunasah, setidaknya ada beberapa kitab yaitu; Kitab Bidayah, Kitab Perukunan Jawo, kitab Masailal Muhtadin.[3]

Sementara isi kajian dari berbagai kitab yang disebutkan di atas meliputi pengetahuan dasar rukun Islam, Fiqh Islam yang membicarakan dasar ibadah, selain itu juga diajarkan sikap bagi anak didik seumpama adab, akhlak kesopanan dan budi pekerti luhur, pantangan yang di larang dalam tradisi masyarakat Aceh, seperti adab kentut didepan umum, bersenda dengan korang yang lebih dewasa, memegang kepada orang dewasa, pantangan duduk di tangga rumah, dan lain sebaginya. Tidak ada referensi jelas yang menjadi rujukan tetang pantangan ini, namun dalam tatanan kehidupan masyarakat terus diajarkan dari masa ke masa, bahkan samapi era moderen ini masih diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

2.      Metode Ajar (Sistem Penyampaian Materi).

Sebagaimana lembaga pendidikan lainya, meunasah juga memiliki metode penyampaian materi ajar untuk anak didiknya, kebanyakan meunasah umumnya menggunakan metode Halaqah (klasikal) murid duduk dalam bentuk lingkaran sesuai dengan sifat (bentuk) meunasah masing-masing. Seorang gure (guru) Teungku yang mengajar duduk ditengah agar mudah memberi pelajaran pada muridnya, metode ini juga dianggap lebih mudah mengontrol peserta didik, sementara murid duduk melingkari gurunya.

Metode lain yang digunakan di Meunasah adalah metode Sorongan yang lazim di gunakan di lembaga Dayah (pesantren), murid duduk didepan gure (guru) secara personal (perseorangan), secara umum metode yang sering digunakan di meunasah adalah sebagai berikut:

1.      Metode Ejaan; yaitu guru mengerjakan bacaan huruf Hijaiyah pada anak didik, guru membaca kemudian diikuti oleh murid, biasanya ini dilakukan pada bahan ajar membaca jus amma (alif ba), penekanannya lebih pada membenarkan makrajul huruf-huruf arab.

2.      Metode Hafalan; metode ini lebih pada materi ajar hafalan ayat pendek, hafalan doa harian, hafalan nazam-nazam Aceh dan shalawat, juga digunakan pada bahan bacaan pembelajaran doa penyelenggaraan shalat jenazah, dan lafaz-lafaz doa dalam shalat.

 

3.      Sumber Bahan Ajar Meunasah

Bahan materi ajar yang digunakan di meunasah adalah kitab al-Quran kecil, di Aceh juga disebut ALIF BA (Juz Amma), bahan yang didalamnya terdapat tulisan-tulisan Hijaiyah (huruf arab) dan pada halaman terakir terdapat ayat-ayat pendek dari juz 30, sementara kelas yang sudah tinggi langsung menggunakan Al-Qur'an yang terdiri dari 30 juz. Sementara kelas remaja sudah digunakan bahan ajar kitab seperti kitab Masailal Muhtadi, Kitab Perukunan, kitab Bidayah dan kitab Ilmu Nahwu.

 

d.      Gure (Guru) Beut dan Murid

Guru sekaligus bertindak sebagai tutor yang bertanggung jawab kepada anak didiknya, bukan saja sebagai media yang mentransfer pengetahuan pada anak didik, tapi juga bertindak sebagai murabbi yang menjadi panutan yang dipercayakan oleh orang tua murid dan masyarakat sekitar meunasah. Jadi gurulah yang bertanggung jawab atas lembaga meunasah, yang dalam kalangan masyarakat aceh guru dipanggil dengan sebutan Teungku Meunasah (Ustadz Meunasah), berikut tugas dan fungsi Teungku Meunasah:

a.       Mengajar alifba dan Al-Quran kepada anak didiknya.

b.      Teungku Meunasah juga bertindak sebagai Imam shalat di Meunasah.

c.       Mengurus penyelenggaraan Jenazah, mulai memandikan, mengafankan, mensalatkan serta menguburkan jenazah.

d.      Menjadi imam doa (memimpin doa) pada keunduri masyarakat sekitar wilayah meunasahnya.

e.       Menyembelih hewan kurban, hewan lain untuk keunduri atau pada acara tertentu.

f.        Mengurus pernikahan, dalam hal ini sebagi KUA dalam Gampongnya.

g.       Menjadi inisiator sekaligus yang bertanggung jawab pada hari-hari besar Islam, seumpama buka puasa bersama dan lainnya.

Teungku meunasah biasanya dipilih secara demokratis oleh masyarakat, masyarakat menunjuk dan mempercayai seorang teungku untuk memimpin meunasah dalam sebuah gampong. Untuk itu Teungku Meunasah harus yang cakap, yang memiliki kapasitas dan kualitas, karena maju atau tidaknya sebuah meunasah sangat tergantung pada seorang Teungku yang memimpinnya. Selain menggerakkan ide-ide cemerlang untuk kemakmuran meunasah, imam meunasah (teungku Meunasah) juga bertindak sebagai pemantau yang mengevaluasi proses pendidikan di Meunasah, untuk itu Tengku meunasah harus yang mampu yang memiliki syarat dan kriteria seorang Teungku yang alim.

Pada masa kerajaan Aceh tepatnya pada masa kerajaan Aceh Darussalam, Teungku harus memiliki standar dan syarat tertentu, diataranya Teungku harus alim, memiliki ilmu agama yang memadai, biasanya harus seorang lulusan Dayah (rangkang), shalih serta ta,at pada Allah. Yang ditunjuk sebagai Teungku sekaligus menjadi penggerak perjuangan Islam.

 

e.      Salpras (Sarana dan Prasarana) Sebuah Meunasah


Sebagai sebuah lembaga pendidikan dasar pada masa kerajaan Aceh (abad 16-17 M), tentu meunasah dibangun untuk kebutuhan masyarakat, status meunasah adalah milik gampong (milik masyarakat umum) yang dibangun secara bersama, adakalanya dana pembangunannya dari hasil sumbangan amal masyarakat dan ada juga yang menggunakan kas desa. Meunasah biasanya berbentuk rumah adat yang sederhana tapi penuh makna, bukan saja menjadi pusat pendidikan dasar, aka tetapi memiliki berbagai fungsi kegunaannya.

Seiring perkembangan zaman, wujud fisik meunasah pun mulai tersentuh modernisasi, adakala sekarang meunasah tidak lagi berbentuk rumah adat, tapi sudah berbentuk permanen, dilengkapi dengan berbagai fasilitas, misalnya bak wudhuk, lapangan poli, ruang parkir, dapur umum dan gudang penyimpanan barang, serta sudah mulai diterangi dengan lampu listrik yang terang.

Meunasah era sekarang juga sudah dilengkapi dengan alat pengeras suara, yang dulunya hanaya tambo dan sebahagiannya hanya lonceng dan berugu (terbuat dari tanduk kerbau), yang semua itu dijadikan sebagai alat pemberitahuan pada masyarakat jika ada sesuatu musibah atau ada pemberitahuan tertentu.

 

f.        Penutup/ Kesimpulan/ Saran.

1.      Kesimpulan

Meunasah merupakan lembaga asli milik dayah sebagai sebuah indititas peninggalan khazanah Aceh. Asal usul meunasah pada pendapat kuat berasal dari bahasa Arab, yaitu Madrasah yang memiliki arti sara belajar, kehadiran meunasah di yakini saat Islam masuk ke Aceh, beriringan dengan terbentuknya komunitas Muslim dalam Gampong Aceh maka hadirlah sebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut dengan Meunasah

Meunasah sebuah lembaga multi fungsi yang digunakan untuk berbagai efen oleh masyarakat Aceh pada masa Kesultanan. Namun jika menilik meunasah sebagai pusat pendidikan, maka meunasah merupakan lembaga pendidikan Dasar bagi anak-anak sebelum belajar kedayah/ Rangkang.. di meunasah diajarkan ilmu dasar agama dan belajar mengaji al-Quran.

 

2.      Saran

Pada pemangku kebijakan dan para akademisi yang meneliti tetang keistimewaan Aceh, diharapkan untuk mengangkat kembali literatur keistimewaan meunasah sebagai lembaga milik Aceh asli. Penuh harapan kita semua, hendaknya ada upaya mengembalikan fungsi asli meunasah pada kittahnya. Sehingga meunasah dapat kita warisi sebagai sebuah peninggalan bagi generasi akan datang. Wallahualam. (AY).



[1]Lihat kembali dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Islam di Indonesia, Karya Prof. Dr. Haidar Putra Daulai, Guru Besar UIN-SU Medan, dicetak di Jakarta, Penerbit Kecana, tahun 2009, halaman 23.

[2]Badruzaman Ismail, dalam Bunya Mesjid dan Adat Meunasah sebagai Sumber Budaya.

[3]Ibid..., hal. 19-21.

No comments:

Post a Comment