Friday, July 30, 2021

PROBLEMANTIKA PEMBELAJARAN PAI DI SMP NEGERI 1 PASIE RAJA ACEH SELATAN.

 

PROBLEMANTIKA PEMBELAJARAN PAI DI SMP NEGERI 1 PASIE RAJA ACEH SELATAN. 

Oleh: Ilham Mirsal, S.Pd.I, MA

Email: ayahilham234@gmail.com / ilham_mirsal@yahoo.com


Abstrak:
Penelitian ini untuk mengetahui Perencanaan yang dilakukan oleh Guru Pendidikan Agama Islam dalam pembelajaran PAI di SMP Negeri 1 Pasie Raja Aceh Selatan, apa saja problemantika yang dihadapi oleh Guru PAI, hambatan dan faktor pendukung serta solusi yang ditempuh oleh guru dalam menyelesaikan problemantika dalam pembelajaran PAI tersebut. Dengan mengunakan metode kualitatif, penelitian ini mendeskripsikan problem pembejaran PAI, hambatan dan pendukung serta solusi dalam mengahadapi problemantika Pembelajaran PAI di SMP N 1 Pasie Raja Aceh Selatan. Hasil penelitian dilapangan, problemantika pembejaran PAI di SMP N 1 Pasie Raja ini, dari perencanaannya mendesain bentuk pembelajaran serta membuat diagram pengembangan kecakapan siswa melalui konsep example dan non exampel, diskusi kelas, peta konsep dan pembelajaran berbasis tematik. Implementasinya setiap kelompok membuat pertanyaan dalam bentuk hand out, ploblemantikanya dalam invitasi/ apersepsi dalam perencanaan, dalam eksplorasi, serta dalam penjelasan. Kurangnya dukungan dari orang tua siswa menjadi faktor penhambat, kurang atensi juga menyadi sebab besar, dan kurang evaluasi. Kemudian dari segi pendukung, adanya relevansi aplikasinya dengan kurikulum KTSP dan K-13. Adapun solusinya tidak cukup membuat tes Kognitif, efektif tapi harus dilaksanakan tes psikomotorik bagi siswa dalam pratik pembelajarannya.

Kata Kunci: Problemantika, Pembelajaran, dan Pendidikan.

PENDAHULUAN

Praktik pendidikan agama Islam di sekolah (umum) amatlah minim atau kurang maksimal. Secara umum, jumlah jam pelajaran agama di sekolah rata-rata 2 jam per minggu. Dengan alokasi waktu seperti itu, jelas tidak mungkin untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agama yang memadai. Oleh karena itu, harus dilakukan strategi alternatif dalam memenuhi kebutuhan peserta didik akan pendidikan agama di sekolah umum, antara lain: melalui kegiatan ekstra kurikuler berbasis keruhanian, tambahan-tambahan materi kegamaan di luar jam pelajaran, menyisipkan muatan keagamaan kedalam semua bidang studi umum, dan lain sebagainya. Sumber daya guru agama Islam juga perlu terus ditingkatkan kualitasnya, baik dari segi content maupun metodologi. Di samping itu, proses pelaksanaan pendidikan agama Islam harus selalu dilaksanakan dengan baik dan maksimal. Evaluasinya tidak cukup hanya menilai aspek kognitif siswa, tetapi harus juga melihat dan menilai aspek afektif dan psikomotoriknya. Ketiga domain (kognitif, afektif, psikomotorik) pendidikan agama Islam harus dilihat dalam pelaksanaan penilaian, sehingga bersifat komprehensif.

             Agama Islam sudah kaffah dalam teorinya, pondasi ajarannya telah terletak sejak wahyu diturunkan, kemudian terus berkembang menjadi pandangan hidup bgi masyarakat yang dinamis dan kontruktif sebagai pegangan untuk kesejahtraan bersama.

            Namun dalam aplikasinya, terkadang penganut agama Islam itu sendiri justru lepas kontrol dari kompas yang telah ditentukan oleh agama, yang menyebabkan Islam mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak, ulah penganutnya yang tidak mampu menanggulangi perasalah ditengah masyarakat,  praktik kepercayaan, kultur yang berbeda justru terkadang melahirkan ketidak harmonisasan dan bahkan menimbulkan komplik antar sesama, isue SARA menjadi gesekan yang menodai Islam itu sendiri.

            Tentu persoalan tersebut tidak lepas dari asumsi terkait penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah-tengah masyarakat, sehingga efektifitas pendidikan menjadi sorotan yang dipertanyakan oleh semua pihak, salah satu penyelenggaraan pendidikan di sekolah juga tidak luput dari sorotan, karna sekolah[1] belum mampu mengoptimalisasikan pendidikan Islam secara baik. Kita pasti tidak sepakat jika hanya sekolah saja yang bertanggung jawab terhadap pendidikan agama, masih ada lembaga lain yang ikut berperan dalam membentuk karakter dan akhlak peserta didik, namun sekolah dan guru PAI memiliki peran besar dalam membentuk akhlak serta kepribadian anak bangsa ini.

            Berdasarkan problemantika yang terjadi secara umum disekola-kolah lain, di SMP Negeri 1 Pasie Raja juga terjadi hal serupa, setidaknya dari observasi awal yang penulis lakukan, problemantika disekolah tersebut dapat dibagi kedalam dua bentuk, yakni problem internal dan eksternal. Problem yang bersifat internal misalnya seperti kurangnya sarana prasarana, problem tentang siswa maupun guru dan lain sebagainya, adapun yang menjadi dari faktor eksternal yatu salah satunya, tidak adanya hubungan yang baik antara sekolah dengan masyarakat sekitar, ataupun dengan wali murid yang dimana akan terjadi diskomunikasi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Dalam hal ini pernah terjadi gesekan antar masyarkat dengan pihak sekolah, kususnya guru PAI yang dianggab menyebar pemahaman yang berbeda dengan praktik amaliah masyarakat sekitar, pada wali murid juga terjadi kendala besar, dimana terkadang hanya mempercayakan pendidikan agama bagi anaknya di sekolah saja, tanpa menanbah pendidikan agama diluar sekoalah.

            Mengatasi permasalahan di atas, pihak sekoalah berupaya menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar, dengan melibatkan wali siswa, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang difasilitasi oleh muspika Kecamatan Pasie Raja, yang kemudian dirumuskan solusi dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan agama Islam yang integratif serta komunikatif bersama lembaga-lembaga keagamaan disekitar sekolah, dengan melibatkan tokoh agama untuk ikut berperan dalam proses pendidikan agama pada SMP Negeri 1 Pasie Raja.

            Berdasarkan problemantika di atas, dilihat dari fakta dilapangan, yakni hasil obsesrvasi awal dan berdasarkan hasil wawancara, dokumentasi di SMP Negeri 1 Pasie Raja Aceh Selatan, baik dengan kepala sekolah, guru PAI, wali murid serta masyarakat sekitar, maka penulis menyampaikan bahwa proses pendidikan agama yang dilakukan oleh guru PAI masih sangat sederhana, terkesan tidak mau menambah tugas yang memberatkan tugas-tugas lainnya, kemudian ada juga ketakutan salah memeberi materi ajar, was-was akan terjadi benturan dengan masyarakat sekitar yang sangat kental amaliah ibadah menurut mazhab syafi’iyah, disamping itu ada kecendrungan mengajar hanya untuk memeberi nilai pelajaran siswa saja, sehingga guru banyak mengabaikan proses dalam evaluasi setiap pembelajaran yang diberikan.

Selain itu, problem berikutnya di SMP Negeri 1 Pasie Raja adalah asismen yang dilakukan hampir tidak ada pada tes lisan, bahkan nyaris tidak ada digunakan, seperti menilai sikap, manat, bakat dan sebagainya. Kebanyakan hanya pada teknis tes, terutama tes tulis, essay, pilihan ganda, serta jawaban singkat, pada hal pembelajaran PAI lebih menekankan pada tes psikomotorik bukan pada kognitif saja. Dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru PAI di SMP Negeri 1 Pasie Raja lebih pada penekanan kebutuhan pengisian rapor pendidikan siswa, sedangkan untuk perbaikan proses dan karakter siswa agar lulusan terjamin kualitasnya sangat kurang efektif atau belum optimal.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Problemantika

Secara bahasa Problemantika berasal dari bahasa Inggrir, yaitu: “problematic” yang memiliki arti persoalan/ masalah. Menurut pendapat lain mengatakan bahwa problemantika didefinisikan dengan sesuatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan dengan harapan dapat diselesaikan atau dapat mengurangi kesenjangan tersebut, dari teori di atas, dapat disimpulkan bahwa, problematika yaitu berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi baik individu ataupun kelompok Pendidikan dalam arti bahasa adalah sebuah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[2]

 

B.     Jenis-jenis Problemantika

Dalam Jurnal Edu Riligia: Volume 2 Nomor 2 April – Juni 2018, menugutip pendapat Kartini Kartono terdapat dua jenis problemantika, yaitu problemantika sederhanna dan Problemantika sulit. Keduanya dapat di bedakan berdasarkan ciri-cirinya sebagai berikut:

a.       Problemantika sederhana

Problemantika sederhana ini memiliki skala kecil, pronlemnya sederhana tidak melibatkan problemantika lain, dalam kata lain tidak ada sangkuta pautnya dengan problem lain tapi ia berdiri sendiri, tidak memiliki konsekuensi atau resiko besar, penyelesaiannya tidak menguras energi yang besar, tapi bisa diselasaikan secara individual. Penyelesaiannya bisa dilakukan berdasarkan pengalaman yang ada, baik pengalaman individu, pengalaman intuisi dan sebagainya.

b.      Problemantika Sulit

Sementara yang dikatagorikan dalam problemantika sulit merupakan problem yang kompleks atau problem besar, yaitu sebuah problem yang mempunyai kaitan dengan problem lain, memiliki resiko yang besar dengan berbagai konsekuensinya, penyelesaian problem ini pun membutukan energi dan pemikiran yang besar dengan idrak (pemikiran) keras/kuat. Problemantika sulit ini dapat dikempokkan dalam dua bahagian, yaitu: terstruktur dan non struktur, problem terstruktur biasanya jelas penyebabnya, dan sering terjadi, dengan demikian solusi dan penyelesaiannya sudah dapat di prediksi, sementara non terstruktur adalah problem yang tidak diprediksi, tidak jelas penyebabnya, serta bukan problem yang biasa terjadi.[3]

Melihat realita pendidikan agama Islam di sekolah umum, problemantika pendidikan PAI sangatlah kompleks dan belum memenuhi harapan kita umat, dan mengingat kopleksnya masalah yang dihadapi, maka perlu sebuah konsep yang dijadikan pegangan dan pedoman bagi pelaksanaan pembinaan pembelajaran PAI di sekolah umum,[4] semua itu mengacu pada usaha strategis  kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Depertemen Agama, Yaitu peningkatan mutu kusus mengenai pendidikan agama Islamdisekolah umum.[5] Peningkatan mutu dimaksud terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Mutu tersebut yang diharap dapat menjadi jawaban atau harapan bagi umat Islam.

Kasus lain, mayoritas umat Islam menginginkan anaknya mampu membaca Al-Quran, namun terkadang mereka para orang tua hanya mengandalkan pembelajaran di sekolah saja, dalam hal ini senada yang disampaikan oleh Diman Asnawi, M.Pd, kepala Sekolah SMP Negeri 1 Pasie Raja, bahwa kebanyakan siswanya belum mampu membaca al-Quran, pada hal sebahagiannya sudah kelas 3 SMP, namun orang tua hanya mengandalkan pendidikan sekolah semata, Secara umum sekolah belum mampu memberi harapan untuk menjawab tantangan ini, dikarenakan jam pendidikan agama hanya tersedia 2 jam saja perminggu.[6] Jika sebatas pernialaian kognitif mungkin guru mampu memberikan, tapi jika samapi pada tahap psikomotorik tentu ini menjadi kedala besar. Untuk itu, sebaiknya pada orang tua siswa tidak mencukupkan pendidikan agama pada sekolah saja, akan tetapi agar karakter dan akhlak anak terbetuk dengan harapan yang maksimal, hendaknya menambah pembelajaran agama pada Dayah Pseantren di sekitar tempat domisilinya masing-masing.

 

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pembelajaran dapat diartikan proses interaksi antar pendidik dan peserta didik dengan belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agam mendapatkan pengetahuan, kemahiran, tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.[7] Pembelajaran adalah proses atau serangkaian penyajian bahan materi ajar yang meliputi segala aspek dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, segala fasilitas yang digunakan terkait proses ajar mengajar baik langsung ataupun tidak langsung.[8]

Strategi pembelajaran merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru serta siswa agar tujuan pembelajran tercapai secara efektif dan efesian, atau strategi pembelajaran itu adalah suatu prosudur bahan ajar yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.[9] Gagne (1985) mengemukakan bahwa pembelajaran dimaksud untuk menghasilkan belajar, situasi eksternal harus dirancang sedemikian rupa untuk mengaktifkan, mendukung dan mempertahankan proses internal yang terdapat dalam setiap peristiwa belajar. Metode yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi tersebut bisa digunakan dengan berbagai metode. Metode adalah suatu cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan atau capaian suatu keberhasilan.[10]

Kata mengajar memiliki arti memberi pelajaran, sementara pendekatan sinonim atau mempunyai kemiripan dengan strategi pembelajaran, oleh karena itu ada dua pendekatan dalam proses pembelajaran, yaitu pendekatan yang ada pada guru dan pendekatan yang ada pada siswa. Pendekatan yang ada pada guru merupakan strategi pembelajaran langsung, pembelajaran dedukatif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan pendekatan yang ada pada siswa merupakan pendekatan discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran indukatif.[11] Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode.[12] Untuk itu Rostiyah, mengatakan teknik adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh suatu instruktur. Sedangkan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu. Dengan demikian, taktik sifatnya lebih individual. Misalnya, walaupun dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah dalam situasi dan kondisi yang sama, sudah pasti mereka akan melakukannya secara berbeda.[13]

 



[1]Abd. Rauf, dalam Jurnal Nasional, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umun, mengatakan bahwa: Aplikasi pendidikan agama Islam di sekolah umum kurang maksimal, karna prktiknya sangatlah minim, secara umum jumlah jam peelajaran agama hanya 2 jam saja dalam per minggu, dengan alokasi seperti itu, jelas tidak mungkin membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan agama yang memadai, (Jurnal Nasional, 2015) Vol 3 Nomor 1, hal. 9.

[2]Ummi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 195.

[3]Saprin Efendi, dkk, Problemantika Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SD Negeri 064025 Kecamatan Medan Tuntungan, Jurnal Edu Riligia: Volume 2 Nomor 2 April – Juni 2018, hal. 268. Dan dalam Abd. Rauf, Potret Pendidikan Agama Islam di Sekolah UmuMm,  (Jurnal Nasional, 2015), Vol. 3 No. 1, hal. 9.

[4]Saprin Efendi, dkk, Problemantika Pembelajaran..., hal. 268.

[5]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). hal. 789.

[6]Diskusi Ilmiah bersama Prof. Dr. Lahmuddin, M.Ed, dalam Seminar kelas Isu-isu Konterporer Pendidikan Islam dengan judul, Problemantika Pendidkan Agama Islam di Sekolah Umum, Program Doktor PEDI B Pascasarjana UIN-SU Medan, 8 Januari 2021.

[7]W. James Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar Secara Sistematis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 139.

[8]Muhaimin, Pradigma Pengertian Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 92.

[9]Kartini Kartono, Problemantika Kehidupan, Teori dan Pratis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2010), hal. 22.

[10]Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hal, 1180.

[11]Abd. Chayyi Fanany Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Taruna Media Pustaka, 2010), hal. 22. Dalam Saprin Efendi, dkk, Problemantika Pembelajaran..., hal. 269.

[12]W. James Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar..., hal. 7.

[13]Istarani, Model Pembelajaran Inovatif, Referensi Guru dalam Menentukan Model Pembelajaran, (Medan: Media Persada, 2012), hal. 1.

No comments:

Post a Comment