MASJID PUTIH
Nyakwan Sang Anak Nelayan Tradisional
(Kisah Sukses Seorang Anak Nelayan)
“Kita Tidak Mungkin Menemukan Lautan Biru,
Jika Tidak Berani Berlayar Jauh Dari Pantai”.
Hari itu Ujian Akir Nasional di SMA Fajar, diantara kawan-kawannya yang ceria, Nyakwan tampak gelisah, mereka asik membicarakan kelanjutan pendidikan diperguruan tinggi, brosur dari berbagai universitas pun sudah banyak beredar disekolah. Dipojok kantin sekolah, Nyakwan hanya terdiam, mengintip pembeicaraan teman-temannya yang ingin melajutkan kuliah ke Jokja, Jakrata, Bandung dan bahkan ada yang berencana lanjut kuliah keluar negeri.
Suara lonceng pulang terdengar, Nyakwan menarik nafas yang dalam, seraya mengambil dua buah brosur IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah yang dilaipat kemudian dimasukkan kedalam kantong seragam sekolahnya. Ia pun melangkah pulang bersama para siswa lainnnya. Nyakwan memilih brosus universitas yang ada di Aceh saja, itu pun sangat berat bagi nya, IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah terletak di Ibu Kota Provinsi Aceh, tepatnya di Darussalam yang dikenal sebagai kota pelajar, jantong hate rakyat Aceh.
Esoknya sekolah sudah diliburkan sembari menunggu hasil kelulusan ujian. Berbeda dengan Nyakwan, kawan-kawannya mulai mengikuti bimbel untuk latihan mengikuti seleksi SNMPTN diperguruan tinggi, sementara Nyakwan terpaksa membantu ayahnya menangkap ikan kelaut, ini memang sering dilakukan kala ada libur sekolah. Pada malam harinya, Nyakwan membuka brosus perguruan tinggi yang ia bawa pulang dari sekolah, ia membaca dan terus dibacanya berulang-ulang, sampai ia tertidur dengan brosur ditangannya.
Keesokan hari, ia terbangun dari tidurnya, mengintip cahaya fajar dari dinding jendela rumah yang mulai terlihat diupuk timur, pagi nan cerah, suara ayam jago bergantian, burung pun bernyanyi di sela-sela ombak memecah pantai, suasana alam pesisir dimana komunitas masyarakat nelayan yang hidup ditepi-tepi pantai. Satu persatu nelayan mulai meranjak dari rumah menuju dermaga.
Nyakwan sudah siap bersama ayah untuk menangkap ikan di lautan nan raya, dengan baju ala kas nelayan, baju tebal dan topi penutup wajah ala ninja untuk menghindari teriknya matahari,, Suara mak pun terdengar, memanggil untuk memberi bekal makan siang di lautan nanti, seraya meyodor bungkusan nasi yang sudah di packing kedalam karung yang dimodivikasi mirip tas jinjing, didalamnya sudah siap dengan sayur, sambal asam sunti serta air minum, Nyakwan-pun mengabil tas nasi lalu disemat kebahunya, ayahpun sudah siap dengan kayuh sampan di pundak.
Mereka mulai berjalan kaki di pasir yang masih basah dengan embun pagi, mendekati dermaga tempat sampan para nelayan tradisional diparkirkan. Setelah tiba disampan kecil milik mereka, mereka mengawali dengan basmallah dan doa agar selamat dalam mencari rezki, ayah dan Nyakwan mulai mengayuh sampan melawan ombak yang datang silih berganti, hingga mereka berdua melewati muara suangai menuju laut lepas.
Jaring dan alat pancing mulai dilepas untuk menjebak ikan, sementara ayah terus memandang wajah Nyakwan yang polos, seakan mengetahui sang anak sedang memikirkan sesuat, Nyakwan masih tampak gelisah, ada harapan dan keinginan hinggab dipikirannya, ia ingin juga kuliah seperti kawan-kawan seangkatanya.
Ditengan alunan gelombang laut yang membuat sampan kecil milik mereka naik turun terombang ambing, ayah menyapa Nyakwan yang kelihatan tidak seperti biasa... Nyak,, kenapa sayang, apa yang engaku pikirkan, dari tadi ayah melihat mu tidak ceria seperti biasa........
Nyakwan hanya terdiam dan sedikit kaku, sambil terus menjatuhkan pancing yang ketika itu malai banyak mendapat ikan jenis aneuk leu,,, ayah tidak memaksa Nyakwan menjawab, tapi ayah mulai mengalih pembicaraan,,. Nyak.. lanjut ayah berbicara !!! iya, tuan ayah jawabnya...
coba liahat kota tapaktuan tunjuk ayah ke daratan, dari lautan tampa terasa mereka sudah sejajar dengan kota tapaktuan yang jauh 60 KM dari tempat mereka beranjak, Tapaktuan adalah sebuah kota wisata yang terletak di barat selatan Aceh, merupakan Ibukota Aceh Selatan, kota nan asri dengan taman pala yang tumbuh teratur dikebun milik petani. Tapaktuan yang sarat dengan nilai budaya serta terkenal dengan cerita rakyat Tuan Tapa dan sepasang Naga...,
begitu hebat dan megah, tambah ayah... apa lagi kalau Banda Aceh sebagai pusat Pemerintah Provinsi lanjut ayah lagi..... Nyakwan mulai tersenyum dan melontarkan pertanyaan ke ayahnya.... apakah ayah sudah pernah ke Banda Aceh tanyanya semanagat......!!!
sudah jawab ayah singkat... kapan dan kenapa ayah ke Banda tanya Nyakwan girang sambil tersenyum bahagia.... dulu kata ayah, saat ayah masih muda,,.. ayah bekerja di Banda Aceh, disana banyak sekali pekerjaan, kalau mau semua ada kerja dikota, kerja berat sebagai buruh bangunan, atau yang agak ringan kerja diwarung, bantu orang berjualan atau jadi kernet angkot labi-labi,, terpenting jujur kata ayah, kalau jujur kemana dan pun kita pasti selamat, nasehat ayah...
aneuk agam dalam bahasa Aceh (maksudnya anak laki-laki), harus berani merantau, kamu kan sudah selesai SMA, sudah besar, cobalah merantau cari pengalaman, tantangan ayah kepada Nyakwan...
betul ayah jawabnya semangat??? Terserah jawab ayah, jika tidak berani disini saja jelas ayah, kita kerja bersama sebagai nelayan, nanti kita tabung uang untuk beli sampan yang agak besar jawab ayah.......... tapi kalau kamu merantau, jika nasib baik kamu bisa beli bot mesin nanti jelas ayah (Bot, Kapal nelayan tenaga mesin). Tapi yang terpenting jujur dan tidak boleh tinggal shalat nasehat ayah lagi, shalat dan jujur kunci sukses dirantau orang, jika pun tak kaya, minimal kita bahagia jelas ayah pada Nyakwan.
Nyakwan tersenyum, ditengah ombang ambing lautan, pikirannya pun mulai mengkayal Banda Aceh yang belum pernah ia datangi sama sekali.........
Ayah, panggil Nyakwan,,, iya, kenapa, sahut ayah..!!!
Saya kalau ayah izin ingin kuliah saja ke Banda, bukan merntau cari pekerjaan, tapi ingin melanjutkan studi seperti kawan-kawan lain, ayah doakan saja saya lulus UN, biar saya bisa kebanda Aceh,, pintanya..!!
Ayah terdiam....!!! kali ini kecemasan hinggab diwajah keriput ayah yang sudah menua, mata ayah mulai menatap kosong, tidak ada jawaban dari lisan yang ia kenal bijak selama ini, ayah terus menghisap rokok pucok yang terbuat dari tembakau dan daun nipah... walaupun ayah coba menyembunyikan, tapi Nyakwan mengetahui kesedihan dan kecemasan yang sedang ayah pikirkan...
Nyakwan dan Ayahnya sama-sama terdiam.... dibawah terik matahari serta tiupan angin laut yang spoi-sepoi,,, terlihat mereka mengakiri pembicaraan dengan cara masing-masing terus bekerja memancing ikan... matahari tepat di atas kepala, menandakan waktu dhuhur hampir tiba, biasanya mereka pulang sore, tapi hari itu ayah mengajak pulang cepat dengan alasan ikan tangkapan mereka sudah banyak...
Nyak.... sapa ayah,, tampaknya sudah boleh kita pulang, alhamdulillah tangkapan kita lumayan banyak hari ini, insyallah banyak rezki kita tutur ayah... baik ayah jawab dan patuh Nyakwan... lalu mereka mulai membalikan sampan ke arah pulang, dengan saling bergantian mengkayuhnya.... hingga sampai kedermaga... seperti biasa Nyakwan pamit dan langsung pulang, sementara ayah menjual hasil tangkapannya terlebih dahulu pada agen...
Dapat Izin Mak...
Langit dialautan kampung nelayan mulai memerah, matahari mulai terbenam, syafak merah tanda masuk waktu magrib mulai tampak dilangit sebelah utara, suara Teungku Leman sang muazzin kampung terdengar mengumandangkan azan di masjid Pasie, Nyakwan dan masyarakat muslim lainnya datang memenuhi panggilan azan untuk jamaah bersama di masjid... usai shalat di masjid Nyakwan langsung pulang kerumah..
Setiba dirumah Nyakwan melihat ayah dan mak duduk di tikar seuke diruang tengah rumahnya, ayah memanggil Nyakwan duduk bersama, lalu ia duduk disebelah kanan mak. Bagini, ucap ayah memulai kalam... tadi Sinyak minta izin kuliah ke Banda Aceh jelas ayah ke mak, saya menyuruhnya merantau ke Banda Aceh untuk mencari pengalaman, kalau untuk kuliah ayah tidak mampu membiayainya, jangankan untuk kuliah, biaya hidup kita saja susah nak dapat, belum lagi kondisi rumah yang sudah banyak bocor, jika ada rezki ayah berencana mau menggantikan atap rumbia yang sudah mulai menua, jelas ayah...
Ayah, mak... sahut Nyakwan... saya hanya minta izin dan restu dari mak dan ayah, tampaknya uang celengan saya cukup untuk ongkos bus ke Banda Aceh jelas Nyakwan, nanti saya coba cari kerja disana sembari menunggu dibuka pendaftaran, jika nanti tidak dapat rezki di pekerjaan saya tidak jadi kuliah, tapi saya akan tetap terus mencari kerja di Kota Banda.... namun jika tuhan mengizinkan dan ada rezki, saya akan daftar kuliah, tambah Nyakwan,,. Yang saya harapkan izin dan doa mak dan ayah, lalu ia menutup kalam sambil menunduk kelantai rumahnya yang terbuat dari papan kayu.
Mendengar penjelasan Nyakwan mak menangis tersedu-sedu sambil memeluk dan mencium Nyakwan, ayah pun terlihat menangis, seketika mak menjawab, jika benar tekad mu kuat nak, mak mengizinkan dan mendoakan kamu sukses di Banda, tapi hanya doa dah ridha yang mampu mak berikan, selebihnya mak ngak ada apa-apanya, jawab mak sambil terus menangis...
Mendengar jawaban Nyakwan dan mak, sang ayah juga mengizinkan Nyakwan berangkat kuliah. Sambil membuka plastik gula (kertas pelastik ukuran 1/2 kg) tempat ayah menyimpan rokok daun nipahnya, beliau mengambil uang sejumlah 250 ribu dari tempat rokok tersebut, mungkin uang ayah pinjam dari toke bangku (agaen ikan) tadi sore, dan sebahagiannya hasil jualan ikan yang ayah sisihkan selama ini.
Uang tersebut ayah serahkan ketangan Nyakwan, ia pun mengambil dengan penuh haru dan air mata yang berlinang dikedua pipinya, ayah tidak bicara banyak, hanya mengingatkan pesannya tadi sore, “jujur dan tidak pernah meninggalkan shalat”. Kala itu ongkos bus antar kota hanya 75 ribu dari tempat ia tinggal menuju kota Banda Aceh, dan harga formulir mahasiswa baru di IAIN Ar-Raniry hanya 150 ribu, artinya uang yang ayah berikan masih cukup untuk persiapan di jalan, ditambah lagi dengan uang celengan yang ia simpan selama ini 69 ribu. Bermodal 319 ribu Nyakwan memberanikan diri menjadi musafir ilmu, menuju sebuah kota besar yang selama ini belum pernah ia datangi sama sekali. Basmallah...!
Mulai Berangkat
Keesokan Nyakwan mulai mengkemasi barang-barangnya, baju, celana, sarung, peci dan sajadah dimasukakn kedalam tas ransel yang selama ini ia gunakan kesekolah, mak membungkus nasi dimana mungkin bisa dimakan diperjalanan, setelah semuanya siap, Nyakwan diantar cek Samsul (paman adik mak) menuju keterminal bus antar kota Provinsi. Dengan menumpang Bus Kurnia, Nyakwan mulai berangkat meninggalkan tempat ia lahir menuju perantauan ke kota Banda.
Tiba di Banda Aceh ia menuju ke Masjid Raya Baiturrahman, sebuah masjid kebanggaan rakyat Aceh, masjid yang bersejarah peninggalan kejayaan Aceh masa lampau. Disana memang target para perantau, banyak orang dari berbagai daerah di Aceh menumpang di masjid sebelum mendapat pekerjaan, Nyakwan juga salah satunya musafir yang tidak ada tujuan tempat mampir, karena itu masjid merupakan solusi sementara tempat ia beristirahat.
Azan dhuhur terdengar di menara masjid yang megah, Nyakwan bergegas ketempat wudhuk untuk shalat, ditempat wudhu ia sangat kaget dan terharu, saat berjumpa dengan Icang seorang kawan yang ia kenal yang sama-sama berasal dari daerah kampungnya, Icang adalah kakak letingnya di sekolah Fajar, tapi dia sudah setahun lalu di Banda Aceh untuk bekerja, Icang sudah ngangur setahun karena tahun lalu tidak ada biaya untuk kuliah, tapi tahun ini dia sudah siap untuk kuliah karena sudah banyak tabungan selama setahun bekerja di Banda Aceh.
Setelah shalat mereka bercerita panjang lebar, dan Nyakwan di ajak oleh Icang ketempat ia tinggal di Darussalam, dimana ia tinggal tidak jauh dari duah buah kampus jantong hate rakyat Aceh, yakni IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah.
Masjid Putih
Tidak jauh dari tempat Nyawan tinggal, ada sebuah masjid Putih berdiri megah, sebuah masjid yang di bangun oleh anak keturunan Teuku Nyak Arief pahlawan Nasional asal Aceh. Setiap saat Nyakwan shalat di masjid tersebut, disamping menjaga amanah ayahnya, Nyakwan memang terpaut hati dengan kenyamanan masjid tersebut, kadang kala ia datang lebih cepat sebelum waktu shalat, dan kadang pulang lebih lambat, ia mulai banyak menghabiskan waktu di masjid putih tersebut untuk beribadah, membaca al-Quran, kadang membaca buku bacaan yang disediakan oleh pihak masjid.
Lama-lama kelamaan ia mulai ramah sama pengurus masjid, Nyakwan pun tidak segan kadang-kadang membantu membersihkan masjid, ia sering manyapu dan membantu membentangkan sajadah untuk para jamaah, Nyakwan aktif mengikuti majlis ta’lim dan kegiatan lain yang diadakan oleh BKM.
Melihat ketulusan dan rajinnya bocah nelayan, sang imam masjid menceritakan pada pendiri Majid tersebut yang baru pulang dari Turky Istambul, sang hartawan tersebut mulai kagum pada Nyakwan, sehingga pada satu sore, saat Nyakwan sibuk merapikan sajadah masjid, ia dipanggil oleh sang dermawan pendiri masjid tersebut.......... nak, kesini sebentar, sambil melambai tangannya... nyakwan begitu kaget seraya terus merapat meninggalkan pekerjaannya. Begitu ia mendekat, bapak tadi langsung menyapa, kamu bernama Nyakwan? Ia betul, sahutnya...
Kuliah dimana??, di IAIN, Datuk, baru simister satu, jawab Nyakwan ...
Bagus, apa mau bekerja dan tinggal di masjid ini, tawar sang datuk kaya, ia mau, mau lah datuk jawabnya senang, saya kerja apa datuk...!!
Kamu Nyakwan, urus saja fasilitas masjid agar ngak hilang jelas sang datuk, kemudian ini kunci rumah adat (Rumah Peninggalan Teuku Nyak Arif, Geburnur Militer Aceh Pertama), sesekali kamu bersihkan, tak usah rutin, ada sebulan sekali sudah cukup, arahan datuk... baik datuk, insyaalah siap...
Bersambung....!!!
No comments:
Post a Comment